Selasa, 22 Mei 2018

keeping secrets


Hai hai, hari ini tiba-tiba aku tergugah untuk menulis seputar tema 'menjaga rahasia'. Menjaga rahasia ini ada macam-macam ya konteksnya, yang mau aku bahas disini adalah konteks menjaga rahasia jika kita dicurhatin teman, atau dikasitau sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan teman kita.

Teman-teman pembaca pasti pernah curhat atau dicurhatin teman, macam-macam topiknya, bisa tentang orang yang disuka, pacar, masalah keluarga, masalah antar teman, atau sekedar kejadian buruk yang terjadi di hari itu. Sadar ga sih, kita dicurhatin (bukan ngeluh ya, beda) karena mereka percaya sama kita? Percaya apa? Percaya kalau kita mampu menjadi pendengar yang baik dan memahami cerita mereka. Lebih bagus lagi kalau kita bisa jadi penasehat yang meringankan beban mereka. Biasanya ga semua orang bisa gampang percaya sama orang lain ya, jadi kalau isi ceritanya adalah sesuatu yang bersifat privat, misalnya masalah keluarga, atau pacar, mereka ga akan cerita ke orang yang dianggap belum terlalu dekat dengan mereka dan hanya akan bercerita ke orang-orang tertentu yang dianggap sangat dekat. Ini hal yang sering kita lupakan, para pendengar.
Anggaplah teman kita yang curhat itu A, dan teman kita yang lainnya adalah B. Teman kita A bercerita pada kita tentang masalah pribadinya, misalnya dia berantem dengan pacarnya, lalu kita menganggap ceritanya adalah hal yang tidak cukup privat dan akhirnya menjadikan cerita A sebagai bahan obrolan dengan teman kita yang lainnya, si B. Padahal B ga kenal dengan A, atau sebatas tau saja. Ini pasti sering kejadian ya, karena aku pernah berada di posisi A dan B.

Bagian terburuk dari ilustrasi di atas adalah saat B akhirnya dipertemukan dengan A. Bisa bayangkan apa yang ada di benak B saat bertemu A? 'Oh dia kan yang ada masalah sama pacarnya itu..' 'Oh dia kan yang sampe nekad mau bunuh diri gara-gara putus itu kan..' Yaampun, baru aja kenal, image A udah jelek duluan di mata B. Padahal masalah A udah terselesaikan.
Bagian terburuk lainnya adalah saat A heran kenapa jadi banyak orang yang tau masalah pribadinya, padahal ia hanya bercerita padamu. Ingat, sekali cerita itu disebarkan, kemungkinan besar akan lanjut diceritakan ke subjek lainnya, karena mereka menganggap itu bukanlah suatu masalah yang privat (kamu aja cerita ke dia, masa dia gak boleh), dan berakhir menjadi gosip.
Ada jenis orang yang sangat menghargai privasi (seperti aku) dan bisa sangat tersinggung saat ceritanya disebar ke banyak orang yang dianggapnya tidak perlu untuk tau. Akibatnya, ia tidak akan bercerita lagi pada si penyebar berita, dan mencoretnya dari 'daftar orang yang dapat dipercaya' miliknya. Hubungan pertemanan pun merenggang.. :(


Teman-teman, mungkin susah untuk menahan diri jika sudah bertemu dengan sahabat kita, bawaannya ingin cerita apa saja. Saking inginnya mengobrol, semua hal diobrolkan, dari tukang ketoprak yang lewat depan rumah, tren fashion terbaru, sampai cerita-cerita tentang kehidupan dan tujuan hidup pun ikut dibahas. Menurutku, kita boleh saja bercerita macam-macam pada teman kita, tapi jangan sampai kita melewati batas dan mulai membicarakan masalah orang lain, sebuntu apapun obrolan kita. Cerita orang lain yang diceritakan pada kita, biarlah itu kita simpan untuk diri kita sendiri, kita tidak berhak memberitahukannya lagi ke orang lain. Kalaupun ia ingin orang lain tahu, biarlah ia sendiri yang menyampaikan. Sungguh, kita tidak punya hak untuk membeberkan masalah orang lain.

Tentu ada beberapa pengecualian ya, misalnya teman kita bercerita kalau ia sudah kehilangan harapan hidup dan ingin bunuh diri. Nah kita sebagai teman yang sudah dipercaya olehnya, harus mampu menawarkan bantuan, sekecil apapun itu. Bisa dengan menghubungi pihak yang lebih berpengalaman dalam menangani masalah keputusasaan, sehingga teman kita dapat ditolong.

Di luar masalah yang ekstrim seperti di atas, masalah lain yang masih dapat diselesaikan baik-baik sebaiknya jangan diceritakan lagi ke orang lain. Selain merusak image dari teman kita yang bermasalah, tanpa sadar kita juga merusak image diri sendiri, dengan menunjukkan bahwa kita tidak dapat dipercaya dan ember. Maaf aku ga terpikir kata-kata lain yang lebih pas untuk menggambarkan orang yang suka membeberkan rahasia orang lain.
Jadilah orang yang bijaksana dalam bertindak dan berbicara, sehingga kamu menjadi orang yang dapat dipercaya oleh orang lain. Karena sesungguhnya orang yang curhat bukan hanya butuh didengar dan dinasehati, tapi juga butuh dijaga rahasianya. Kita tidak berhak memberi nilai pada cerita yang kita dengar; di luar pengecualian di atas, semua masalah yang kita dengar adalah hal yang penting dan bersifat rahasia, walaupun di mata kita bukanlah sesuatu yang pantas dirahasiakan.

Jadilah orang yang mampu menjaga rahasia, apalagi rahasia sahabatmu, karena itu mencerminkan kualitasmu sebagai sahabat yang loyal. Semoga terinspirasi!

Jika ada komentar atau pendapat lain yang berhubungan dengan topik ini, silahkan tulis di kolom komentar ya! Aku terbuka dengan feedback :D

Sabtu, 12 Mei 2018

chasing careers

Halo teman-teman, kali ini aku tergerak untuk membagikan isi pikiranku tentang "mengejar karir", mumpung waktunya cocok denganku yang baru lulus kuliah dan sedang berada di masa galau dalam pencarian pekerjaan yang sesuai. Sebelum masuk ke dalam pembahasan yang lebih dalam, kita harus mengerti dulu nih perbedaan antara karir dan pekerjaan, karena sebagian besar orang masih berpikir bahwa kedua hal tersebut adalah sama. Singkatnya, karir itu cita-cita kita, atau tujuan hidup kita dalam jangka panjang, misalnya kita bercita-cita jadi pengusaha hotel atau jadi pemilik restoran. Kalau pekerjaan itu hal yang kita lakukan untuk pihak lain, lalu sebagai gantinya kita akan dibayar. Mengejar karir itu bisa melalui berbagai jalan ya, salah satunya dengan bekerja pada pihak lain terlebih dahulu. Jadi, karir itu sudah pasti melakukan pekerjaan, tapi melakukan pekerjaan belum tentu proses mengejar karir.

Aku baru lulus kuliah Januari 2018 kemarin, lalu seperti kebanyakan fresh-graduate lainnya, aku mulai mencari pekerjaan. Dari awal aku sudah memutuskan untuk mengerucutkan hal yang menjadi kesukaanku dan membulatkan tekad ingin bekerja sesuai dengan kesukaanku itu; yaitu menulis. Latar belakangku adalah pendidikan arsitektur, yang sebagian besar lulusannya pasti bekerja di biro konsultan arsitektur. Sayangnya, minatku untuk bekerja di konsultan arsitektur tidak sebesar minatku dalam bidang tulis menulis. Dari sana, aku mulai melamar di perusahaan media cetak atau media online, sebagai editor atau content writer, namun tidak membuahkan hasil. Selama 3 bulan lebih aku menganggur, dan hal ini cukup menggangguku. Tekanan sosial dari teman-teman yang sudah mendapatkan pekerjaan, saudara-saudara yang tiap ketemu selalu bertanya 'Sekarang kerja dimana?', bahkan tetangga yang papasan di jalan juga ikut-ikut bertanya hal serupa. Sejujurnya ini masa terberat bagiku, apalagi jika aku bercerita pada orangtua tentang keinginanku untuk bekerja di bidang tulis menulis, responsnya kurang lebih selalu sama, 'Untuk apa susah-susah kuliah arsitektur kalau kerjanya ga nyambung?' atau 'Memangnya jadi penulis itu bisa mendatangkan uang yang banyak?' ya semacam itu lah, yang intinya meragukan keputusanku.


Di saat harapan mulai menipis, aku hampir menyerah sehingga mulai mengirimkan email pada perusahaan mana saja, termasuk konsultan arsitektur. Pikirku saat itu, lebih baik bekerja dan mendapat penghasilan, sambil menunggu waktu yang tepat untuk memulai karir sebagai penulis, daripada hanya menganggur di rumah. Pada pertengahan April, lamaranku mulai membuahkan hasil. Beberapa perusahaan memanggilku untuk interview, email lamaran kerjaku direspons, salah satunya adalah lamaranku di perusahaan konsultan. Di saat yang bersamaan, email lamaran pekerjaanku sebagai penulis arsitektur pun direspons. Sebut saja perusahaan konsultan ini adalah kantor A, dan kantor penulis arsitektur adalah kantor B. Kantor A menawariku gaji yang cukup untuk seorang fresh-graduate, dengan segala fasilitas dan dana tunjangan, serta kontrak awal yaitu 1 tahun. Kantor B menerimaku sebagai pekerja magang dengan periode belajar 4 bulan, dengan tunjangan transportasi yang bisa dibilang sangat minim.. Disini aku mengalami kegalauan luar biasa, karena merasa nasibku bergantung pada keputusanku. Di satu sisi aku butuh uang karena aku sudah menganggur cukup lama, namun di sisi lain aku juga ingin memperjuangkan karirku sebagai penulis. Teman-teman pembaca pasti dengan cepat akan menyuruhku untuk mengambil tawaran di kantor A, dengan segala kepastiannya, hidupku terjamin selama sekurang-kurangnya 1 tahun ke depan. Orangtuaku pun gigih membujukku untuk memilih kantor A saja, istilah yang digunakan mereka adalah 'karena kantor A lebih jelas juntrungannya'

Teman-teman pembaca yang budiman, kalian pasti sudah dapat menebak pilihan mana yang aku ambil. Ya, pada akhirnya aku melepas tawaran dari kantor A dan memilih kantor B. Mungkin kalian berpikir aku bodoh, atau menyia-nyiakan kesempatan, atau settle for less. Tapi aku punya beberapa alasan mengapa aku akhirnya memilih kantor B. Pertama, aku ingin mengejar karir, karena selama ini aku hidup tanpa punya cita-cita yang pasti dan berada dalam lingkaran kebingungan tentang apa yang sebenarnya jadi keahlianku. Saat aku sudah menemukan apa yang benar-benar aku suka dan benar-benar berniat untuk mengembangkannya, aku tidak rela jika harus mengorbankannya. Kedua, tindakanku memilih kantor B bukanlah menyia-nyiakan kesempatan. Justru disaat aku memilih kantor A lah, aku telah menyia-nyiakan kesempatan. Bayangkan, jika aku bekerja di kantor A selama minimal setahun, lalu saat akan berhenti dengan alasan ingin mengejar karir, muncul suara-suara dari sekitarku seperti, 'Sayang banget berhenti dari sana, kan kerjaan udah enak' atau 'Ngapain berhenti, belum tentu nanti ketemu kantor yang kayak gitu lagi.' yang pada akhirnya akan membuatku tidak jadi berhenti, dan hilanglah kesempatanku untuk memulai langkah awal menjadi penulis. Hal yang sering kita lupakan adalah, 'Kalau bukan sekarang, kapan lagi?' sekaranglah waktu untuk mengejar karir, karena 'nanti' akan berubah menjadi 'tidak akan pernah'. Ketiga, aku ingin bekerja dengan hati dan mencurahkan apa yang benar-benar aku bisa. Aku ingin melakukan apa yang aku suka dan mendapat uang dari sana. Karena fokus utamaku adalah meniti karir, bukan fokus kepada berapa yang aku dapat, lewat pekerjaan apapun. Keempat, karena aku tidak ingin kehilangan diriku sendiri dengan rela dibentuk oleh orang lain. Kelima, aku ingin bekerja dengan bahagia tanpa tertekan karena mengerjakan apa yang aku tidak suka.


Tentu jika ada di antara teman-teman pembaca yang saat ini belum berniat fokus pada cita-citanya dan sedang bekerja dengan fokus mencari pendapatan, aku tidak bilang itu hal yang salah, karena hidup juga butuh uang. Tetapi ingatlah untuk mengutamakan kesukaan kita, karena jika kita tekun mengembangkan hal yang kita suka, kita bisa mendatangkan uang dari sana juga lho.

Pada akhirnya, kita tidak perlu terlalu mendengarkan orang lain jika pendapat mereka tidak memberikan damai sejahtera untuk kita. Karena pilihan kita akan dijalani oleh kita sendiri. Orang lain hanya pemeran tambahan dalam hidup kita dan mereka tidak bisa berjalan dalam sepatu kita. Mungkin kita akan berjuang lebih berat karena pilihan yang kita buat, tapi semuanya akan berharga pada akhirnya. Pengalaman yang kita dapat selama meniti langkah karir adalah hal yang sangat berharga yang tidak dapat digantikan oleh uang. Setidaknya dalam menggapai cita-cita, kita sudah melakukan langkah pertama yang membuat kita lebih dekat dengan cita-cita itu.

Aku harap teman-teman yang sedang galau dalam memilih pekerjaan dapat lebih tercerahkan setelah membaca tulisan ini.
Jangan menyerah dan kejarlah mimpimu! Have a blessed day! :D