Rabu, 06 Juni 2018

when everybody is against you

Halo..hari ini aku mau cerita tentang perkembangan dari post-ku sebelumnya yang berjudul 'chasing careers', sambil tetap menyisipkan sudut pandangku. Banyak yang merespon post-ku yang kemarin dengan bilang, "Kamu hebat banget bisa meneguhkan pendirian kayak gitu.." atau "Aku juga lagi mengalami hal itu tapi aku ga seberani kamu.." ya sebenarnya aku pun selama menjalani pilihanku, engga selalu lancar dan bahagia.. karena sejujurnya orang-orang di sekitarku bahkan kedua orangtuaku belum bisa menerima keputusanku. Mereka selalu mengungkit-ungkit hal yang sama setiap ada kesempatan; saat senggang di rumah, saat di meja makan, saat di mobil.. dan mengungkit-ungkitnya jarang berbentuk diskusi. Mereka hanya mengatakan isi pikiran mereka tanpa mau mendengar isi pikiranku, jika berbentuk diskusi pun seringnya berujung dengan pendapatku yang dianggap seperti pendapat orang gila, yang tidak bisa diterima oleh mereka.

Aku mencoba memahami alasan mereka menjadi seperti itu, ada adikku yang juga sudah bekerja dan mendapatkan gaji yang besar untuk ukuran fresh graduate, lalu saudara-saudari sepupu dari pihak mama yang sebagian besar jauh lebih tua dariku, dan sudah terjun ke dunia karir terlebih dahulu, bahkan anak-anak teman orangtuaku yang dinilai mereka 'sukses'. Belum lagi saat ada om atau tante atau tetangga yang bertanya langsung pada orangtuaku, 'Si Christy lagi sibuk apa sekarang? Udah kerja dia?' (nama panggilanku di lingkungan keluarga adalah Christy). Biasanya kalau tante dan om sudah bertanya seperti itu, masalah jadi panjang, karena akan dibahas lagi saat sampai di rumah. Tidak berhenti dibahas karena menurut mereka adalah sebuah dosa besar ketika aku memilih bekerja magang saat aku sudah lulus kuliah, sedangkan orang lain sudah bekerja tetap.

'Ngapain sih dibela-belain, gaji cuma segitu aja.'
'Buru-buru cari tempat lain, ga usah full 4 bulan disana.'
'Dari dulu kan udah papi/mami bilang, kerja disana kamu melarat.'
'Emang habis magang kamu uda pasti diterima jadi pegawai tetap disana?'
'Udah gaji cuma segitu, libur Lebaran pelit banget.'
dan masih banyak lagi.. yang inti permasalahannya adalah gaji, dan cukup membuat sedih kalau diketik semua sih.

Aku sedih dengan pola pikir macam ini, yang money oriented, karena sejujurnya anak muda jaman sekarang, well ya ada beberapa yang engga sih, tapi masih banyak anak muda yang mau kerja demi karirnya tanpa memikirkan berapa yang akan dia dapat nantinya, yang menomorsatukan pengalaman. Bukan karena aku bekerja sebagai intern, dengan uang transport minimalis, lantas aku bekerja seenaknya; datang terlambat, bangun kesiangan, kerja malas-malasan dan tidak pernah selesai, atau memperlihatkan tindakan buruk di kantor. Semuanya perlu dilatih, perilaku professional tidak muncul dalam semalam, dan aku melihat pengalaman bekerja sebagai intern adalah kesempatanku untuk belajar tidak hanya ilmu dalam pekerjaannya, tapi juga belajar melatih diriku untuk menjadi professional dan menyiapkan diri untuk pekerjaan dengan posisi yang lebih tinggi lagi. Memantaskan diri. Karena kesuksesan pasti diraih dengan susah payah kan? Kalau jawabannya tidak, mungkin kalian beruntung dilahirkan di keluarga kaya raya yang hartanya ga habis-habis, yang selalu diberi uang jajan berlebih, yang bisa membeli apa saja yang kalian inginkan, punya gadget terbaru, yang tidak perlu memulai segalanya dari nol.

Mungkin orangtuaku hanya tidak ingin aku jatuh miskin di kemudian hari, tidak ingin aku gagal, salah langkah. Masuk akal, tapi aku hanya ingin bilang, engga ada yang tau nasib seseorang, bahkan 1 detik setelah ini akan ada apa, engga ada yang tau. Bukan berarti jika aku magang 4 bulan lalu aku akan melarat sampai nanti usiaku 50 tahun. Karena sekali lagi, ga ada yang tau nasib seseorang. Jika aku berusaha dan tekun, pasti hasilnya akan baik, karena hasil tidak akan mengkhianati usaha, dan aku yakin Tuhan juga tidak akan membiarkan aku jatuh terpuruk seperti bayangan orangtuaku.

Engga bisakah kita melihat sesuatu dari sudut pandang positif? Sudut pandang yang lebih optimis? Apakah ukuran kesuksesan seseorang dilihat hanya dari hartanya? Dari jumlah angka 0 di buku tabungan seseorang? Dari pendapatannya per bulan? Dari frekuensinya jalan-jalan keluar negeri?
Menurutku, kesuksesan seseorang dinilai dari seberapa besar dampak yang ia beri untuk orang di sekitarnya. Dari berapa banyak karya yang dia hasilkan selama hidupnya, dan bagaimana karya itu bisa menginspirasi orang lain. Karena sejujurnya aku engga mau hanya kerja mencari uang uang uang sampai aku mati, tanpa sempat menikmati hidup dengan pandangan yang benar. Orang yang seumur hidupnya mendedikasikan dirinya hanya untuk uang, ibarat hamster yang berlari di roda hamster, yang di ujungnya tergantung makanan, yang sampai kapanpun ga akan bisa didapatkan, kecuali hamster itu berhenti berlari dan mulai memanjat rodanya, sadar apa yang dia lakukan selama ini sia-sia.

Hari ini aku membaca berita yang cukup menyedihkan, desainer tas Kate Spade meninggal bunuh diri karena depresi. Satu lagi kasus orang terkenal meninggal karena depresi. Beliau tentu saja bisa dibilang sukses, hartanya melimpah-limpah, karyanya dipakai dan disukai banyak orang, tapi tetap saja depresi tidak bisa dihapus dengan uang yang banyak. (Aku tidak berniat menjelek-jelekkan Kate Spade). Mau sampai kapan kita mementingkan harta sampai melupakan kelegaan jiwa kita? Tentu dengan uang yang banyak, kita bisa membeli apa yang kita mau, pergi kemanapun yang kita inginkan, lalu kita akan menjadi bahagia. Tapi kemudian kenyataan kembali menyadarkan kita, 'uangku akan habis jika aku memakainya untuk hal seperti ini, aku harus mencari uang lebih banyak lagi!' lalu lingkaran setan itu terus mengintai hidup kita sampai kita mati.
Karena alasan inilah, aku memantapkan pilihanku pada karir, tidak hanya bekerja segala jenis pekerjaan demi uang. Memang uang dibutuhkan untuk hidup, tapi uang tidak menjamin kebahagiaan untuk waktu yang lama, hanya kebahagiaan sesaat dan semu.

Aku sudah memutuskan pilihanku, bagianku sekarang adalah melakukan yang terbaik di pilihanku, dan aku juga masih membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekat. Sekeras-kerasnya dan seteguh-teguhnya pendirianku, aku juga bisa lelah jika orang-orang di sekitarku selalu menjatuhkan. Lelah fisik karena bekerja adalah hal wajar yang bisa dipulihkan dengan beristirahat, tapi lelah batin adalah hal yang membutuhkan pemulihan yang lama, yang tidak bisa sembuh hanya dengan tidur 8 jam sehari.
Jika ada keluargaku yang membaca tulisan ini, aku hanya butuh didukung, bukan disindir, agar aku bisa lebih bersemangat dalam mengerjakan bagianku. Aku akan membuktikan bahwa mengejar karir dan mengerjakan passion bukanlah suatu kesalahan, apalagi sebuah penyebab kemiskinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar